Friday, September 4, 2009

Pajak Progresif Atasi Macet

















Thursday, 03 September 2009
JAKARTA (Seputar Indonesia) – Pemprov DKI Jakarta didesak menerapkan pajak progresif bagi kendaraan bermotor.Kebijakan tersebut untuk mengatasi kemacetan di Jakarta yang semakin parah.

Peneliti Lembaga Pendidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Nuzul Achjar mengatakan, langkah yang tepat untuk mengatasi kemacetan di Jakarta adalah menaikkan pajak progresif bagi kendaraan bermotor. Dengan demikian, hanya orangorang tertentu yang dapat memiliki kendaraan bermotor. Menurut Nuzul, perlu ada keberanian dari pemerintah pusat dan kota untuk menerapkan kebijakan ini.

”Pajak yang dihasilkan digunakan untuk mempercepat pembangunan public transport,” kata Nuzul Achjar kemarin. Nuzul mengakui, tidak mudah menerapkan kebijakan lain mengingat banyaknya kepentingan yang memengaruhi pemerintah. Karena itu,keberanian pemerintah pusat maupun kota untuk menerapkan pajak progresif diperlukan. Agar kebijakan tersebut berjalan efektif, perlu ada kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya.

Dia menilai, kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk mengikis kemacetan melalui berbagai cara seperti memajukan jam masuk sekolah dan kantor,threeinone,danbusway hanya bersifat sementara. Apalagi pengoperasian waterway yang terhenti karena masih bergantung volume air dan pembangunan monorel yang terhenti memperparah kemacetan di Jakarta mengingat tiang fondasi yang telah berdiri dibiarkan terbengkalai. ”Penambahan ruas jalan tidak akan pernah equilibrium dengan permintaan pemakaian jalan,”jelasnya.

Selama ini,kata Nuzul,pertumbuhan jalan relatif tetap yakni 0,1% per tahun,sementara pertumbuhan kendaraan rata-rata mencapai 11% per tahun.Berdasarkan data,saat ini tercatat 9.529.265 unit kendaraan yang beroperasi. Sementara itu, Jakarta yang memiliki luas wilayah 650 km2 hanya mempunyai panjang jalan termasuk jalan layang maupun jalan tol sekitar 7.650 km dengan luas 40,1 km atau 6,28% dari luas wilayah Jakarta.

Ini tidak seimbang sebab di negara-negara maju sarana jalan mencapai 20% dari total wilayah. ”Jika tidak segera ditangani, akan terjadi stagnasi,” paparnya. Hasil studi yang dilakukan Japan International Cooperation Agency (JICA) serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, jika pada 2020 tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi Jabodetabek,akan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp28,1 triliun.

Sedangkan dari segi waktu mencapai Rp36,9 triliun. Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan, selain menaikkan pajak progresif,upaya lain untuk mengatasi kemacetan adalah menaikkan tarif tol dan parkir. Apalagi, mobilitas di Jakarta 70% adalah pemilik kendaraan pribadi. Selama ini, kata dia, pengelolaan tol dan parkir di Jakarta hanya dinikmati oleh pihak swasta. Ada bagian yang dikelola pemerintah untuk kepentingan pembangunan publik transportasi.

Dengan begitu, ada pilihan bagi mereka yang ingin beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Tulus menilai, pembangunan flyover maupun enam ruas tol dalam kota bukan solusi, melainkan membuka peluang untuk menambah pertumbuhan kendaraan pribadi.” Tidak perlu membangun jalan lagi, langkah itu justru memberikan stimulus bagi masyarakat memiliki kendaraan pribadi,” tandasnya. (sucipto)

No comments:

Post a Comment