Sunday, August 9, 2009

Petaka Transportasi

Editorial Media Indonesia / Jumat, 7 Agustus 2009 07:26 WIB

SEKTOR transportasi publik menjadi sindrom yang paling menakutkan di negeri ini. Sebabnya tidak lain nyawa manusia seperti tidak punya harga. Petaka demi petaka yang menelan korban jiwa selalu saja terjadi.

Tabrakan antara KRL Pakuan Express dan KRL ekonomi di Tanah Sereal, Bogor, Selasa (4/8), yang menewaskan satu orang dan melukai puluhan orang, hanyalah sebuah contoh yang memperlihatkan betapa sektor transportasi publik belum bisa memberikan jaminan keamanan dan keselamatan.

Faktor keselamatan dan keamanan tidak cuma menjadi barang mewah di sektor perkeretaapian. Sektor angkutan lainnya pun idem dito. Insiden tabrakan kereta di Bogor itu terjadi hanya berselang tiga hari setelah jatuhnya pesawat Merpati di Papua.

Namun, pembunuh terbesar tetap di jalan raya. Paling tidak sekitar 25 orang tewas setiap hari akibat kecelakaan lalu lintas.

Tren di dunia menunjukkan kecelakaan di jalan merupakan pembunuh terbesar ketiga, bahkan lebih besar daripada korban perang.

Di negeri ini, kecelakaan di jalan telah menjadi pembunuh nomor satu. Karena itu, sudah sepantasnya korban tewas akibat kecelakaan dipandang sebagai sebuah bencana.

Sama dengan bencana penyakit atau bencana alam. Dari berbagai kecelakaan angkutan publik baik di darat, laut, maupun udara, dua faktor selalu dituding sebagai biang keroknya. Yakni human error dan engine error.

Padahal, secara makro, petaka demi petaka menunjukkan ada yang tidak beres dalam pembangunan dan pengelolaan sektor transportasi publik.

Penanganannya belum terintegrasi, masih sektoral. Selama ini, pembangunan sektor transportasi publik baru sebatas mengutamakan infrastruktur. Jalan, tol, pelabuhan, bandara, dibuat di sejumlah tempat. Namun, pembangunannya terkesan berjalan sendiri-sendiri, tidak integral. Yang justru terabaikan adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Padahal, pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM bak dua sisi uang logam, tidak terpisahkan.

Itu sebabnya, hingga kini belum terbentuk SDM yang andal di tingkat operator moda transportasi, yang tidak hanya memahami persoalan teknis, tapi juga menyangkut ketertiban dan kedisiplinan serta paham betul arti keselamatan.

Contoh paling nyata dan mencolok ada di transportasi massal untuk kalangan bawah, yang kerap disediakan ala kadarnya.

Mengapa? Karena dianggap penumpang bukan raja, melainkan hanya kelompok orang yang sangat membutuhkan jasa angkutan sehingga dapat diperlakukan seperti barang.
Mereka dijejal sedemikian rupa meski kapasitas beban telah terlampaui.

Kondisi itu yang membuat angkutan tersebut sangat rentan terhadap risiko kecelakaan.
Sejauh ini, keselamatan publik memang belum mendapat prioritas utama, khususnya dalam manajemen pengelolaan transportasi publik.

Nyawa yang hilang percuma semestinya menggugah kesadaran baik pemerintah, operator moda transportasi, dan masyarakat.

Regulasi yang lebih baik, pengaturan serta kerja sama dengan berbagai pihak termasuk swasta dalam membenahi transportasi publik yang lebih memberikan perlindungan, merupakan hal penting yang harus dilakukan pemerintah.

Faktor keselamatan penumpang merupakan indikator yang paling gampang untuk melihat seberapa maju dan beradab sebuah bangsa dan negara. Dari sudut pandang itu, negeri ini masih jauh dari membanggakan.

No comments:

Post a Comment