Monday, September 20, 2010

Kabar Kecelakaan yang Tak Lagi Mengejutkan

Oleh : Hari Murti, S.Sos

Ada rumus dalam jurnalistik. Kalau anjing menggigit orang, itu biasa. Tetapi kalau sebaliknya, itu baru luar biasa dan layak berita.
Meminjam rumus itu, besarnya angka kecelakaan pada arus mudik dan arus balik setiap tahunnya seolah bukan berita luar biasa karena berita itu sudah tak mengejutkan lagi. Dari kacamata jurnalistik, justru ketidakterkejutan itulah yang jadi berita luar biasa mengejutkan. Sebab, bagaimana kita bisa tidak terkejut dengan hilangnya nyawa, cacat, atau sakit akibat kecelakaan tahunan itu. "Shock aku nengok kawan itu," kata seorang wartawan. "Kenapa?" tanya temannya. "Nyantai aja dia mendengar tetangganya masuk TV karena tewas kecelakaan mudik," jawabnya.
Tinggal tanggung jawab moral media massa saja sehingga masih mau memberitakan hal yang biasa-biasa saja dalam konteks nilai sebuah berita dalam pandangan audience. Hal ini dikarenakan media massa tetap mengedepankan ideologinya dalam melaksanakan peranannya. Bahwa media massa masih tetap memberi nilai pada sesuatu yang memang seharusnya sangat diperhatikan dan dicarikan solusinya, yaitu kecelakaan saat mudik dan balik. Tetapi, tetap saja nuansa keterkejutan tak terlihat, baik oleh media massa maupun masyarakat. Yang nampak hanyalah sekadar keprihatinan. Prihatin mengapa hal itu terus terjadi, prihatin terhadap pemerintah yang nampaknya tak dapat berbuat lebih dibanding tahun-tahun lalu, atau prihatin atas prilaku mengendara pemudik yang kurang turut aturan-aturan yang ada.
Prediksi
Kecelakaan dalam mudik dan balik seolah telah menjadi bagian yang melekat dalam tradisi tahunan tersebut, sebuah tradisi yang kerap membawa cerita tragis. Kabar soal sekian orang tewas, sekian luka, sekian cacat, dan seterusnya sudah dipastikan sangat besar jumlahnya, hanya tinggal menunggu laporan dari media massa saja. Yang tidak terprediksikan jumlah tepat korban, tetapi angka yang mendekati bersifat predictable. Bukan karena kemampuan analisis, tetapi karena sudah sangat berpengalaman selama bertahun-tahun.
Kalau prediksi tepat karena berlandaskan pengalaman, berarti fenomena itu terjadi secara kontinu dan ritme sifatnya. Ini juga sebenarnya berita luar biasa. Sebab, ini agak ironis dengan pribahasa bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Bagaimana kita bersikap hipokrit setiap tahunnya atas pribahasa itu dengan hanya mengatakannya saja, tanpa mengantisipasinya. Juga,mengapa bisa guru terbaik harus lahir dari matinya sekian nyawa manusia, bukan lahir dari kemampuan analisis. Sebab, dalam hal kecelakaan, pengalaman kecelakaan jelas adalah cara terburuk untuk mendapat guru terbaik itu. Disebut sebagai guru terbaik jika ia mampu merobah keadaan, bukan sekedar memberi informasi apa yang akan terjadi.
Nyatanya, prediksi yang berdasarkan pada pengalaman kecelakaan tahunan ini juga berita yang biasa-biasa saja. Padahal, seharusnya kita terkejut dan bertanya, kemana perginya kemampuan analisis atau antisipasi kita akan datangnya masalah tahunan itu di tengah begitu banyaknya perangkat-perangkat yang kita miliki itu. Pengalaman atas kecelakaan jelas perlu untuk mempertajam kemampuan analisis dan antisipasi. Tetapi, pengalaman itu nyatanya hanya tersimpan di memori, bukan lantas dimanifestasikan. Yang terjadi hanyalah penumpukan pengalaman, tidak lebih dari itu. Pun penumpukan pengalaman tanpa ada antisipasi itu tak jadi berita besar pula.
Terapkan Kejutan
Lihatlah berita-berita tentang kecelakaan arus mudik dan balik, baik berita televisi dan surat kabar. Gaya penyampaiannya bersifat menyentuh hati, empati, dan datar. Tidak ada lagi ekpresi keterkejutan, misalnya menggunakan kata-kata yang lebih menyengat, seperti luar biasa, tak terduga, dan terlalu. Ada juga yang merangkum daftar jumlah korban dalam bentuk tabel atau grafik saja, tak ubahnya itu hanya untuk keperluan data statistik. Jika pun beritanya keras, itu lebih dalam bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah. Lebih mirip sebagai aktivitas debat kusir tahunan saja.
Namun, saya bukan bermaksud mengatakan media massa bersalah, tidak sama sekali. Hanya untuk mengungkapkan betapa mengejutkannya ketidakterkejutan itu sendiri. Dan, sebenarnya media massa hanyalah salahsatu media komunikasi yang menyampaikan informasi tentang kecelakaan arus mudik dan arus balik itu, yang berarti keterkejutan saya adalah pada semua media komunikasi yang tidak menunjukkan keterkejutannya. Lebih dari itu, saya melihat bahwa akibat dari ketidakterkejutan ini, terjadi pergeseran konteks yang cukup jauh. Seharusnya konteksnya adalah mendapatkan solusi-solusi berdasarkan kemampuan analisis dan antisipasi, bergeser kepada kecelakaan mudik sebagai bagian dari tradisi mudik itu sendiri. Ini tragis.
Kita sama sekali tidak ingin melihat terjadinya pergeseran konteks, seolah kecelakaan sebagai bagian dari tradisi mudik lebaran. Maka dari itu, kalaupun berita kecelakaan mudik dengan jumlah korbannya itu terasa biasa saja, lakukanlah pengondisian keterkejutan itu. Buatlah seolah-olah ada yang membuat kita terkejut meskipun tanpa harus me-mark up atau mereduksi fakta. Karena pada dasarnya pun, ada aspek dan dimensi-dimensi yang cukup mengejutkan dari setiap peristiwa, apalagi peristiwa kecelakaan.
Terus terang saja, teknik komunikasi (berita) dengan suasana yang datar-datar saja akan memenuhi prinsip ekonomi untuk sesuatu yang sebenarnya sangat tak ternilai harganya, nyawa manusia. Kalau sesuatu itu sudah umum dan tak membelalakkan mata, harganya pun jadi murah. Lihat saja, hampir tak ada surat kabar yang menjadikan jumlah korban sebagai head line, hanya menempatkan berita korban di halaman pertama. Suasananya akan sangat berbeda jika 50 persen saja surat kabar memosisikan peristiwa kecelakaan mudik sebagai head line. Pemberitaanya pun bersifat periodik singkat, selama masih ada suasana lebaran saja.
Tetapi seperti yang saya katakan di atas, bahwa untung saja media massa masih punya tanggung jawab moral untuk memberitakan kecelakaan arus mudik dan balik itu. Andai media terlalu teoretis bahwa yang luar biasalah yang layak berita, mungkin kecelakaan arus mudik benar-benar jadi bagian dari tradisi. Jika sudah begini, jangan ceritalah soal bantuan ini dan itu atas korban kecelakaan mudik. Mungkin mereka malah disalahkan, mengapa nekat mudik naik sepeda motor.
Meskipun saya melihat media massa sudah cukup berperan, tetapi sebenarnya peranannya bisa lebih besar lagi. Dengan menerapkan manajemen pemberitaan yang mengejutkan tentang kecelakaan mudik, media massa akan mendorong pihak-pihak yang terkait untuk membenahi sistem transportasi kita secara sungguh-sungguh.
Saya sempat membaca berita di sebuah kolom yang kecil dengan judul Pemudik Sepeda Motor Ditilang. Saya melihat ada hal yang lain dari berita ini, yaitu ia bisa membuat orang yang tidak terpaksa mudik dengan motor akan mencari jenis kendaraan lain yang lebih aman. Itu hanya sebuah berita kecil di halaman belakang. Jika media massa sudah memprioritaskan berita-berita tentang mudik dengan suasana yang serius dan sedikit mengejutkan sebelum datangnya lebaran, maka kondisinya akan berbeda. Jumlah korban akan semakin kecil, rasa kemanusiaan kita semakin sensitif, pemerintah akan bekerja serius, dan yang paling penting lebaran tak diiringi dengan tragedi.
Selain media massa, seharusnya perusahaan-perusahaan di bidang telekomunikasi sudah mengambil peran sejak lama. Sebab, telepon selular adalah media komunikasi yang merata di tangan rakyat. Informasi dari media komunikasi personal, seperti telepon selular itu, terlihat lebih mendapat perhatian di masyarakat karena kesannya adalah pesan yang bersifat pribadi. Saya pikir memberi informasi secara kontinu lewat s.m.s., misalnya, akan tetap membuat semangat pemudik menjadi terkontrol.
Mengontrol semangat pemudik adalah sangat penting. Ini bisa dilakukan dengan media komunikasi personal seperti ponsel tersebut. Tapi, tanyalah pada diri kita sendiri, apakah Anda itu pribadi atau instansi yang mengelola komunikasi, berapa kali kita melihat layar ponsel yang menyampaikan pesan yang mengejutkan dengan informasi tentang kecelakaan yang baru terjadi. Yang ada di ponsel kita adalah pertanyaan yang menggenjot semangat untuk memulas gas sepeda motor agar lebih cepat lagi, seperti "Jam berapa sampai", Sudah ditunggui ini" atau "Kok lama sekali sampai". Atau paling-paling "Cepat ya, tapi hati-hati". Siapa yang tak terprovokasi untuk terus menyalip-nyalip kenderaan lain apalagi gema takbir sudah terdengar pula.
Jadi, cobalah mengimbanginya dengan informasi yang mengendurkan semangat itu, seperti "Intensitas kenderaan sangat padat. Kecepatan di atas 60 km/jam sangat berisiko". Kalau perlu, "Baru saja ada korban tewas akibat ngebut". Ini jauh lebih baik daripada sekedar menasihati, misalnya. Terus terang saja, menciptakan rasa takut masih sangat dibutuhkan di masyarakat kita. Saya tak bermaksud mengatakan kita perlu menakut-nakuti. Tetapi seringkali informasi yang menakutkan, bila sampai ke tangan pemudik, hanya sekedar mengingatkan saja. Jadi, pas sudah dosis informasinya. Kalau informasinya menasihati, ya sekedar angin lalu saja.
Mengimbangi Bencana
Yang lebih mengejutkan lagi sebenarnya adalah ketidakterkejutan kita atas jumlah korban. Bayangkan, kita sudah kenyang dengan berita tentang jumlah korban bencana alam. Jumlahnya hampir tidak jauh berbeda dengan jumlah korban "bencana" saat mudik, ratusan tewas, luka berat, luka ringan, dan trauma. Bedanya hanya penyebabnya, jumlah korban per kejadian, dan lokasinya yang sporadis.
Saya sebenarnya tak ingin menyebut ini sebagai bencana. Terlalu banyak bencana yang mengancam kita. Alangkah "jahatnya" jika ada "bencana" di hari raya itu. Tapi kembali kepada persoalan dosis informasi, saya ingin mengesankan adanya keterkejutan itu. Dengan terkejut, refleks akan muncul. Meskipun refleks itu di luar rencana, itu masih jauh lebih baik dibanding refleks ketika terjadinya kecelakaan itu, bukan?
Jadi, tetaplah terkejut atas kecelakaan. Jika Tuhan menciptakan sesuatu, pasti ada manfaatnya. Buat apa kita merasa datar-datar saja karena sesuatu itu terjadi bukan pada diri kita. Pemerintah tak usah lagi diharapkan karena politik membuat terlalu banyak kejutan tanpa menimbulkan korban jiwa. ***
Penulis adalah pemerhati sosial. Alumnus STIK "Pembangunan" Medan.
Opini, Analisa Daily Senin 20 Sept 2010

Monday, September 13, 2010

Ribuan Pemudik Bermotor Padati Jalinsum

Senin, 13 September 2010
KOMPAS/YULVIANUS HARJONO
Kapolda Lampung Brigjen Pol Sulistyo Ishak melepas para pemudik bersepeda motor yang akan dikawal kendaraan polisi, Selasa (7/9/2010). Tiga hari menjelang Lebaran, pemudik yang menuju ke arah Lampung masih didominasi sepeda motor.
KISARAN, KOMPAS.com — Jalan lintas Sumatera atau jalinsum dari Kota Medan-Tebing Tinggi menuju Kisaran-Rantau Parapat hingga Kota Pinang perbatasan Provinsi Riau pada H+2 Lebaran dipenuhi puluhan ribu pengendara sepeda motor.

Menurut laporan pada Senin (13/9/2010), puluhan ribu pengendara sepeda motor yang umumnya berboncengan tiga hingga empat orang adalah masyarakat yang melakukan perjalanan arus balik Lebaran.

Badan jalan provinsi yang selama ini cukup padat ramai kendaraan penumpang, seperti bus dan truk, pada hari itu terlihat dipenuhi pengendara sepeda motor, baik yang sendiri-sendiri maupun rombongan yang beriring-iringan.

Akibat padatnya jumlah pengendara sepeda motor, jarak tempuh Medan-Kisaran sepanjang 200 km yang biasanya bisa ditempuh paling lama tiga setengah jam menjadi enam jam.

Kemacetan juga terjadi di beberapa tempat, seperti di Simpang Lima Puluh dengan Perdagangan dan Batubara, kemudian lebih para lagi kemacetan di kawasan Pasar Bengkel dan Sei Rampah. Badan jalan itu dipenuhi pengendara sepeda motor.

Banyak pengendara sepeda motor yang terlihat lelah harus beristirahat di bawah pohon-pohon kelapa sawit dan karet atau di SPBU yang terdapat di sepanjang jalinsum.

Seorang pengemudi bus mini umum yang melayani penumpang dari Medan-Sibolga, Rahman Napitupulu, mengaku jumlah penumpang justru menurun sekitar 35 persen pada Idul Fitri 1431 Hijriah dibanding Lebaran tahun lalu.

"Penurunan jumlah penumpang itu diperkirakan karena banyaknya masyarakat yang mudik Lebaran menggunakan sepeda motor. Itu bisa dilihat sepanjang jalan dari Medan-Pematang Siantar-Tarutung hingga Sibolga," katanya.