Wednesday, September 30, 2009

DILEMA SUPIR ANGKOT

Thursday, 01 October 2009

Ragam - Features

Waspada Online ANUM SASKIA

Penertiban para pengguna jalan untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas, terutama larangan untuk berhenti di tempat yang ditentukan, khususnya persimpangan jalan terus digalakkan polisi lalu lintas. Akibatnya, mereka yang tidak mematuhi peraturan akan ditindak dan ditilang. Peraturan ini turut memberikan imbas kepada para supir angkutan yang harus diabaikan penumpang karena tidak bisa berhenti di sembarang tempat. Celakanya lagi, mereka yang menjadi supir serap (pengganti) tidak membawa serta kelengkapan surat-surat angkutan, bahkan ada yang super nekad tidak memiliki SIM, tetapi harus membawa angkutan karena mereka tidak punya pekerjaan.

Seperti pengakuan Basri, pengemudi angkutan Batang Kuis-Olympia, Selasa (29/9). Aksi penertiban lalu lintas di berbagai persimpangan oleh kepolisian, seringkali membuat para pengemudi repot. Pasalnya, para penumpang umumnya menunggu angkutan tepat di persimpangan. Misalkan, simpang Jalan Thamrin. Jika supir angkot tidak berhenti, secara otomatis penumpang akan naik ke kenderaan lain. Hal ini jelas membuat mereka kehilangan penumpang, sebab jumlah angkutan untuk tujuan yang sama begitu banyak saat ini.

"Kalau tidak dapat penumpang mana dapat setoran,melanggar peraturan lebih parah lagi, pasti kena tilang. Taula kalau sudah ditilang,urusannya jadi panjang," kata Basri sembari menyarankan semestinya para penumpang juga diberitahukan agar tidak ngantre di jalan sembarangan, sehingga angkutan berhenti pada jalurnya.

Supir angkutan lainnya menyebutkan namanya Rahmat. Ia adalah supir pengganti angkutan umum jurusan Bilal-Pinang Baris. Ayah dua anak yang mengaku tinggal di Namorambe ini mengaku harus berani jadi supir pengganti sekalipun tidak punya SIM. Pasalnya, dia belum bisa mengurus SIM karena uangnya belum cukup.

"Sudah dikumpul sedikit demi sedikit, eh, belum cukup Rp 100.000, harus pula bawa anak-anak ke dokter karena sakit. Habislah, penghasilan selama seminggu jadi supir serap.

Disebutkan, tidak mempunyai SIM seringkali membuat dia jadi gugup saat mengemudi. Tetapi diapun tidak bisa berbuat banyak, karena penghasilan yang dia dapat sangat terbatas. Sehari terkadang hanya Rp20.000, uang itu diberikan kepada isterinya untuk biaya hidup.

Rahmat menambahkan, ramainya razia dan penertiban pengguna jalan saat ini memberikan imbas juga kepada para supir. Pasalnya, para penumpang ada yang mau menunggu di tempat yang diperbolehkan ada juga yang tidak mau. Akhirnya, para pengemudi angkutan tida perduli lagi. Di mana penumpang berdiri, mereka langsung berhenti dan menawarkan penumpang untuk naik ke angkutannya.

"Saya barusan kena tilang. Habisnya penumpang berdiri tepat ditikungan jalan, sedangkan di belakang saya angkutan yang sama telah dekat. Kalau angkutan tidak saya hentikan, pastilah dia naik keangkutan yang di belakang. Makanya, saya nekad berhenti. Eh, di depan ada pak polisi, langsung saya distop dan dicaci maki. Tapi saya diam saja sembari menunjukkan surat-surat kenderaan. Tapi tetap kena tilang karena melanggar peraturan," kata Rahmat yang mengaku harus meminjam uang kepada temannya untuk urusan tilang ini.

(dat01/waspada)

Titik Kemacetan di Medan Meluas

SumutPos Online Tuesday, 29 September 2009

MEDAN-Minimnya penambahan volume jalan baru di Kota Medan, membuat semakin banyak ruas jalan yang menjadi langganan macet. Dalam pantauan Sumut Pos selama sehari, kemarin (28/9), ruas jalan yang macet itu meliputi Jalan Mojopahit, Jalan Thamrin, Jalan Sutomo, jalan Glugur By Pass, Jalan AH Nasution, Simpang Aksara, dan sepanjang Jalan Prof Dr HM Yamin. Lampu lalu lintas (traffic lights) yang sering padam dan tak di-setting sesuai tingkat kepadatan volume kendaraan di ruas jalan tertentu juga turut menyumbang kemacetan panjang.

Di ruas Jalan Pandu dan Krakatau, misalnya, kemacetan terjadi akibat traffic lights yang tidak berfungsi. Alhasil pengguna jalan saling berebut untuk maju lebih dulu. Begitu pula kemacetan di ruas Jalan Mojopahit dan Jalan Thamrin yang disebabkan membludaknya penjemput anak-anak sekolah. Di Simpang Aksara, Simpang Glugur, dan Jalan Pancing, pangkal kemacetan justru berawal dari ketidakpatuhan pengemudi angkutan yang mengambil penumpang sembarangan. Nyaris di setiap titik kemacetan tersebut tidak ada petugas Satlantas yang berusaha menertibkan pengguna jalan yang telanjur terjebak kesemrawutan.

Kepala Urusan Pembinaan Operasional (Kaur Ops) Sat Lantas Poltabes Medan, Iptu Imam mengakui mulai meluasnya ruas jalan rawan macet di Medan. Dia menambahkan kawasan Pasar Sore di Padang Bulan juga mulai macet seperti halnya Pasar Simpang Limun di Jalan Sisingamangaraja. “Kalau tidak ada polisi yang mengatur tentunya parah. Kami akan evaluasi dalam waktu dekat,’’ ujar Imam.
Sementara itu, meskipun ruas jalan yang terserang macet semakin luas, namun belum ada inisiatif Pemko Medan untuk menciptakan jalan-jalan alternatif untuk mengurai kemacetan. Akibatnya, para pengguna jalan terpaksa bertahan melewati jalan-jalan protokol di tengah kota yang rawan macet, terutama saat jam-jam pulang kantor.

Menurut anggota DPRD Kota Medan, CP Nainggolan, jumlah kendaraan roda dua maupun roda empat terus mengalami penambahan di Kota Medan, sedangkan keinginan masyarakat menaiki kendaraan umum minim sekali. ‘’Jadi jangan heran setiap hari di Kota Medan ini makin sering terjadi kemacetan lalu lintas,’’ jelasnya.

Dia berharap Pemko segera memikirkan jalan alternatif yang bisa menembus antar titik. ‘’Jalan pintas atau jalan alternatif itu harus segera dipikirkan. Kalau tidak jalan-jalan di inti kota akan menjadi biang macet total seperti halnya jalan-jalan protokol di Jakarta,’’ tukasnya. (mag-7)

Keyword: kemacetan, lalu lintas, medan

Friday, September 4, 2009

Pajak Progresif Atasi Macet

















Thursday, 03 September 2009
JAKARTA (Seputar Indonesia) – Pemprov DKI Jakarta didesak menerapkan pajak progresif bagi kendaraan bermotor.Kebijakan tersebut untuk mengatasi kemacetan di Jakarta yang semakin parah.

Peneliti Lembaga Pendidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Nuzul Achjar mengatakan, langkah yang tepat untuk mengatasi kemacetan di Jakarta adalah menaikkan pajak progresif bagi kendaraan bermotor. Dengan demikian, hanya orangorang tertentu yang dapat memiliki kendaraan bermotor. Menurut Nuzul, perlu ada keberanian dari pemerintah pusat dan kota untuk menerapkan kebijakan ini.

”Pajak yang dihasilkan digunakan untuk mempercepat pembangunan public transport,” kata Nuzul Achjar kemarin. Nuzul mengakui, tidak mudah menerapkan kebijakan lain mengingat banyaknya kepentingan yang memengaruhi pemerintah. Karena itu,keberanian pemerintah pusat maupun kota untuk menerapkan pajak progresif diperlukan. Agar kebijakan tersebut berjalan efektif, perlu ada kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya.

Dia menilai, kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk mengikis kemacetan melalui berbagai cara seperti memajukan jam masuk sekolah dan kantor,threeinone,danbusway hanya bersifat sementara. Apalagi pengoperasian waterway yang terhenti karena masih bergantung volume air dan pembangunan monorel yang terhenti memperparah kemacetan di Jakarta mengingat tiang fondasi yang telah berdiri dibiarkan terbengkalai. ”Penambahan ruas jalan tidak akan pernah equilibrium dengan permintaan pemakaian jalan,”jelasnya.

Selama ini,kata Nuzul,pertumbuhan jalan relatif tetap yakni 0,1% per tahun,sementara pertumbuhan kendaraan rata-rata mencapai 11% per tahun.Berdasarkan data,saat ini tercatat 9.529.265 unit kendaraan yang beroperasi. Sementara itu, Jakarta yang memiliki luas wilayah 650 km2 hanya mempunyai panjang jalan termasuk jalan layang maupun jalan tol sekitar 7.650 km dengan luas 40,1 km atau 6,28% dari luas wilayah Jakarta.

Ini tidak seimbang sebab di negara-negara maju sarana jalan mencapai 20% dari total wilayah. ”Jika tidak segera ditangani, akan terjadi stagnasi,” paparnya. Hasil studi yang dilakukan Japan International Cooperation Agency (JICA) serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, jika pada 2020 tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi Jabodetabek,akan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp28,1 triliun.

Sedangkan dari segi waktu mencapai Rp36,9 triliun. Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan, selain menaikkan pajak progresif,upaya lain untuk mengatasi kemacetan adalah menaikkan tarif tol dan parkir. Apalagi, mobilitas di Jakarta 70% adalah pemilik kendaraan pribadi. Selama ini, kata dia, pengelolaan tol dan parkir di Jakarta hanya dinikmati oleh pihak swasta. Ada bagian yang dikelola pemerintah untuk kepentingan pembangunan publik transportasi.

Dengan begitu, ada pilihan bagi mereka yang ingin beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Tulus menilai, pembangunan flyover maupun enam ruas tol dalam kota bukan solusi, melainkan membuka peluang untuk menambah pertumbuhan kendaraan pribadi.” Tidak perlu membangun jalan lagi, langkah itu justru memberikan stimulus bagi masyarakat memiliki kendaraan pribadi,” tandasnya. (sucipto)